Wasiat
Pertama: Jangan Menyekutukan Allah
Allah berfirman melalui lisan Luqman:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah,
sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(Luqman: 13).
Sebuah permulaan dengan memprioritaskan yang paling penting. Luqman
Al-Hakim sangat tepat dalam memulai wasiat, karena masalah ini merupakan asas
yang mengakar dan fondasi yang kokoh. Hal pertama yang wajib diajarkan ayah
kepada anak adalah tauhid (mengesakan Allah) dan mengingatkan anak dari dua
jenis kesyirikan, yaitu syirik besar dan syirik kecil. Sehingga sang anak tidak
beribadah kepada selain Allah, tidak menyeru tandingan selain Allah, tidak
meminta kepada orang yang telah meninggal dan benda-benda gaib, tidak
menghadapkan wajah atau hati pada selain Allah, baik karena suka atau takut,
serta tidak memperlihatkan amal pada siapapun.
Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman Al-Hamdan menuturkan, “Syirik
adalah dosa terbesar di sisi Allah, karena syirik dapat merusak kehormatan
rububiyah, menghina uluhiyah, dan berburuk sangka kepada Rabb seluruh alam.
Sayyid Quthb berkata, “Nasihat yang disampaikan Luqman kepada
putranya adalah nasihat bijak. Nasihat yang membebaskan dari aib, dan orang
yang mengucapkannya dikaruniai hikmah. Nasihat yang tidak menuduh karena tidak
mungkin seorang ayah menasihati putranya dengan menuduh. Nasihat ini menegaskan
masalah tauhid.
Kata-kata “Wahai anakku” mengisyaratkan kasih sayang dalam diri
seorang ayah terhadap anaknya, menampakkan perasaan keayahan yang deras
mengalir dalam diri seorang anak, serta rasa cinta dan saying seorang ayah
terhadap anak dan kekhawatiran akan segala keburukan terhadap sang anak.
Luqman Al-Hakim tidak menyebut masalah tauhid dalam wasiatnya tapi
hanya cukup melarang dari kesyirikan saja. Itu tidak bermasalah, karena
larangan melakukan kesyirikan mencakup perintah mengesakan Allah sebagai sebuah
konsekuensi. Bila seorang hamba meninggalkan syirik besar dan kecil, secara
otomatis ia menjadi ahli tauhid yang murni. Wallahu a’lam.
Wasiat
Kedua: Berbakti Kepada Orang Tua
Allah berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan
kepada dua ibu bapakmu. Hanya kepada Ku lah kembalimu”. (Luqman: 14).
Ikatan yang pertama setelah ikatan akidah adalah ikatan keluarga.
Oleh karena itu, penjelasan tentang berbakti kepada kedua orang tua dikaitkan
dengan penyembahan terhadap Allah dan peringatan dari syirik untuk
memberitahukan pentingnya berbakti kepada orang tua di sisi Allah.
Melalui ayat yang inspiratif ini, Al-Qur’an menyatukan perasaan
berbakti dan kasih sayang di hati anak-anak. Hal ini disebabkan, kehidupan
berlalu begitu cepat melintasi manusia, mengarahkan perhatian mereka yang kuat
ke depan, menuju keturunan, generasi baru, dan generasi mendatang. Mereka
jarang mengarahkan perhatian ke belakang, melihat ayah ibunya, menuju kehidupan
yang telah berlalu, dan generasi yang telah lenyap. Oleh karena itu, anak
memerlukan penyatuan perasaan yang kuat agar bisa menengok ke belakang,
memerhatikan kedua orang tuanya.
Orang tua selalu mengedepankan totalitas untuk menjaga anak dan
mengorbankan segala sesuatu hingga mengorbankan diri sendiri. Hal ini ibarat
tunas hijau yang menyerap seluruh gizi dalam benih untuk menjadi tanaman muda.
Ibarat anak ayam yang menyerap seluruh gizi yang berada di dalam telur untuk
kemudian menetas. Seperti itulah anak-anak menyerap seluruh kenikmatan,
kesehatan, jerih payah, dan perhatian kedua orang tua hingga tidak terasa
keduanya menjadi tua dan menanti ajalnya. Meskipun demikian, orang tua merasa
senang.
Sementara itu, anak-anak cepat sekali melupakan itu semua. Padahal
melalui peran orang tuanya, ia bisa melesat menuju masa depannya hingga tak
terasa ia telah beristri dan berketurunan. Seperti itulah kehidupan yang
berjalan dengan cepat.
Oleh karena itu, orang tua tidak perlu melelahkan anaknya. Mereka
hanya perlu menyatukan perasaan anaknya dengan kuat agar ia bisa mengingat
kewajiban generasinya. Dari sinilah perintah berbuat baik terhadap orang tua
muncul dalam bentuk taklif dari Allah yang mengandung makna perintah yang
ditekankan setelah penekanan perintah lainnya, yaitu perintah menyembah Allah
dan larangan berbuat syirik.
Wasiat
Ketiga: Tidak Ada Ketaatan Dalam Mendurhakai Allah
Allah berfirman:
“Dan jika keduanya
memaksamu untuk menyekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik…” (Luqman: 15).
Meski kita diperintahkan untuk hormat dan berbuat baik kepada kedua
orang tua, namun hormat, ketaatan, dan bakti ini memiliki batasan tertentu yang
telah digariskan Islam yang sama sekali tidak boleh diterjang. Batasan yang
tidak boleh diterjang ini seperti yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah:
إِنَّماَ الطَّاعَة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan hanya (dibolehkan) dalam kebaikan.”
Anak harus mendengar dan menuruti kedua orang tua dalam segala hal
yang diperintahkan selama orang tua tidak memerintahkan kemaksiatan. Bila orang
tua memerintahkan untuk mendurhakai Allah, keduanya tidak berhak didengar dan
dituruti. Hal ini disebabkan, tidak ada ketaatan bagi makhluk untuk mendurhakai
Al-Khaliq, karena menuruti makhluk terbatas pada kebaikan semata.
Sayyid Quthb mengungkapkan setelah menyebutkan ikatan antara anak
dan orang tua dan bagaimanakah ikatan tersebut, “meski demikian, ikatan akidah
lebih diperioritaskan daripada ikatan yang kuat ini.” Beliau melanjutkan,
“Hanya saja, ikatan orang tua dengan anak dengan simpati dan penghormatan
seperti ini hanya muncul dalam urutannya setelah eratnya akidah.
Wasiat untuk manusia tetap ada dalam kaitannya dengan kedua orang
tua, “Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.”
(Luqman: 15). Berdasarkan inilah kewajiban untuk taat pun gugur dan ikatan
akidah yang kuat tetap berada di atasnya.
Meskipun orang tua mencurahkan segala upaya, kesungguhan, paksaan,
dan kepuasan argument untuk menipu anak agar menyekutukan Allah dengan sesuatu
yang ketuhanannya tidak jelas dan menyekutukan apapun selain Allah yang tidak
memiliki ketuhanan. Saat itu, anak diperintahkan agar tidak menuruti orang tua.
Perintah ini datang dari Allah, Pemilik hak pertama dalam ketaatan.
Wasiat
Keempat: Wala’ dan Bara’
Allah berfirman:
“… Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (Luqman: 15).
Dibawah naungan suasana keimanan, nasihat dan penuturan wasiat ini,
wasiat keempat datang dari Hakim yang paling adil dan Yang paling pemurah diantara
seluruh pemurah agar mengikuti jalan orang-orang kembali menuju Rabb. Mereka
adalah orang-orang mukmin yang memurnikan agama untuk Allah. Inilah penjelasan
tekstual dari ayat tersebut. Adapun penjelasan konteksnya berisi isyarat untuk
melepaskan diri dari orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus ini. Hal
ini disebabkan bila Allah memerintahkan untuk mengikuti jalan orang-orang yang
kembali kepadaNya, maka Dia juga memerintahkan untuk menentang pihak yang
memusuhi serta berlepas diri dari mereka.
Bentuk-bentuk Wala’ dan Bara’
1.
Bentuk
wala’ (pembelaan) terhadap orang-orang kafir
·
Menyerupai
orang-orang kafir dari segi ucapan, pakaian, dan lainnya.
·
Tinggal
di negara mereka dan tidak berpindah ke negara-negara kaum muslimin demi menyelamatkan agama.
·
Bepergian
ke negara-negara orang kafir dengan maksud rekreasi dan kesenangan diri.
·
Menolong
dan membela orang-orang kafir untuk melawan kaum muslimin, memuji dan membela
mereka.
·
Meminta
banutan kepada orang-orang kafir, percaya pada mereka, menempatkan mereka di
posisi penting di mana berbagai rahasia kaum muslimin terdapat di sana, serta
menjadikan mereka sebagai teman baik dan penasihat.
·
Menuturkan
sejarah orang-orang kafir, khususnya sejarah yang menyebutkan upacara-upacara
keagamaan dan hari-hari raya mereka seperti kalender Masehi.
·
Turut
serta dalam hari-hari raya orang-orang kafir.
·
Memuji
kebudayaan dan peradaban orang-orang kafir serta kagum terhadap etika dan
kemahiran mereka.
·
Memberi
nama seperti nama-nama orang kafir.
·
Memintakan
ampunan dan berbelas kasih kepada mereka.
2.
Bentuk
wala’ (pembelaan) terhadap kaum mukminin
·
Hijrah
ke negara-negara kaum muslimin dan meninggalkan negara-negara kaum kafir.
·
Membela
dan menolong kaum muslimin dengan jiwa, harta, dan lisan yang mereka perlukan
dalam urusan agama atau dunia.
·
Turut
merasa sakit atas derita yang mereka rasa dan turut bergembira atas kegembiraan
mereka.
·
Memberi
nasihat, menyukai kebaikan untuk mereka, dan tidak menipu mereka.
·
Memuliakan
dan menghormati mereka, tidak menghina dan mencela mereka.
·
Bersama
mereka dalam kondisi susah maupun senang, sulit atau lapang.
·
Menjenguk,
senang bertemu mereka, dan berkumpul dengan mereka.
·
Menghargai
hak-hak mereka.
·
Bersikap
lemah lembut pada orang-orang muslim lemah.
·
Mendo’akan
dan memintakan ampunan untuk mereka.
Pembagian Manusia dalam wala’ dan wara’
1.
Orang
yang dicintai dengan tulus murni
Mereka adalah orang-orang mukmin murni dari kalangan nabi,
orang-orang jujur, syuhada, dan orang-orang saleh yang dipimpin oleh
Rasulullah.
2.
Orang
yang dibenci dan dimusuhi tanpa adanya cinta dan pembelaan sedikit pun
Mereka adalah orang-orang kafir, musyrik, munafik, murtad, dan
atheis murni meski ras mereka berbeda-beda.
3.
Orang
yang dicintai dari satu segi dan dibenci dari dari segi lain
Mereka adalah orang-orang mukmin pendurhaka.
Wasiat
Kelima: Detailnya Hisab dan Pentingnya Muraqabah
Allah berfirman:
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus Lagi Maha
Mengetahui.” (Luqman: 16).
Firman Allah, “Niscaya Allah ajan mendatangkannya (membalasinya),”
yaitu, Allah akan menhadirkannya pada hari kiamat saat diletakkan di timbangan
amal perbuatan kemudian diberi balasan. Baik dibalas baik dan buruk dibalas
buruk, seperti yang disebut dalam firman Allah, “Dan Kami akan memasang
timbangan yang tepat pada hari kiamat. Maka tiadalah dirugikan seseorang
sedikitpun.” (Al-Anbiya’:47). Dan firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.”
(Al-Zalzalah: 7-8).
Meski biji sawi itu terjaga dan tertutup di balik batu hitam atau
berada di antah beratah di kolong langit dan bumi, Allah tetap akan
mendatangkan (balasan)nya. Karena, tidak ada sesuatu pun seberat biji sawi pun
yang tidak diketahui oleh Allah, baik dilangit maupun di bumi.
Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Halus
Lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16). Yaitu, ilmu dan pengetahuanNya Maha Halus
hingga mengetahui segala isi, rahasia, serta kesamaran-kesamaran dalam gua dan
samudra. Dan yang dimaksudkan disini adalah dorongan untuk merasakan pengawasan
Allah dan beramal dengan menaatiNya sebisa mungkin. Selain itu juga ancaman
melakukan perbuatan tercela, sedikit atau banyak.
Sayyid Quthb menuturkan bahwa setelah rangkaian wasiat Luqman untuk
putranya disebutkan, dilanjutkan oleh bagian wasiat selanjutnya untuk
menegaskan masalah akhirat beserta penghisaban detail dan balasan adil. Hakikat
ini tidaklah disebut begitu saja, tapi disebutkan secara nyata dan fasih dalam
bentuk yang membekas, menggugah perasaan dengan menelaah ilmu Allah yang
menyeluruh, luas, detail, dan halus.
Wasiat
Keenam: Dirikanlah Shalat
Allah berfirman melalui lisan Luqman, “Hai anakku, dirikanlah
shalat.” Perintah shalat dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan kata iqamah.
Amatlah jauh berbeda antara orang yang sekedar shalat dan yang mendirikan
shalat. Berapa banyak orang shalat namun menurut hokum syariat tidak disebut
orang shalat karena yang bersangkutan tidak menegakkan shalat. Sang pendidik kebaikan,
Rasulullah, bersabda tiga kali kepada orang yang tidak baik dalam menunaikan
shalat:
ارجِع فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَم تُصَلِّ
“Ulangilah shalatmu
karena sesungguhnya kau belum shalat.”
Berapa banyaknya kaum muslimin seperti orang yang disabdakan Rasulullah
ini yang tidak menunaikan shalat dengan baik, bahkan lebih parah lagi.
Seseorang memulai shalat dengan hati tidak khusuk dan anggota badan tidak
tenang hingga melenceng dari shalat.
Tuntutan firman Allah, “Dirikanlah shalat,” adalah wujud penerapan
sabda Rasulullah:
صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُونِي
أُصَلِّي
“Shalatlah seperti kalian
melihatku shalat.”
Kita tahu, setan menghalang-halangi seluruh jalan kebaikan manusia
untuk menutupnya seperti yang diinformasikan oleh Allah dalam kitabNya, “Saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.”
(Al-A’raf: 16). Yaitu, aku akan menghalangi mereka agar amal baik mereka rusak
karena tidak mengikuti sunnah Nabi atau tidak melakukannya dengan ikhlas untuk
Allah semata.
Inilah dua syarat diterimanya amal, yaitu ikhlas dan mengikuti
sunnah. Bila salah satunya tidak ada, amalan akan dikembalikan lagi kepada
pelakunya. Semoga Allah berkenan melindungi kita.
Wasiat
Ketujuh: Amar Makruf Nahi Mungkar
Amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban kuat yang diwajibkan
oleh Allah kepada hamba-hambaNya. Saat orang sepakat untuk meninggalkan
kewajiban ini, maka mereka sama saja telah mewajibkan diri meerka sendiri
tertimpa murka dan laknat Allah. Allah berfirman:
“Telah dilaknati orang-orang
kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya sangat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Ma’idah:78-79).
Rasulullah bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada ditanganNya,
hendaklah kalian memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hendaklah
kalian meraih tangan pelaku keburukan dan kau tegakkan di atas kebenaran dengan
sebenarnya atau Allah benar-benar akan mematikan hati kalian satu sama lain
atau melaknat kalian seperti halnya melaknat mereka.”
Allah menginformasikan bahwa orang yang menyeru menujuNya yang
melakukan amalan baik adalah manusia terbaik dari segi ucapan dan tindakan. Allah
berfirman:
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”
(Fushilat: 33).
Orang yang menyeru menuju Allah saat menyempurnakan diri dengan
mengetahui kebenaran dan petunjuk, ia juga wajib berusaha untuk menyempurnakan
orang lain. Tidak terbatas pada dirinya semata seperti yang dikira mereka yang
tidak tahu dengan mengatakan, “Tunaikan kebenaran, jangan hiraukan orang lain,
mereka tidak berguna bagimu.”
Tidak seperti itu, tapi menyeru kepada Allah dengan hikmah, tutur
kata yang baik, dan berdebat dengan cara yang terbaik seperti kondisi para
rasul dan para pengikut mereka hingga hari pembalasan.
Amar makruf nahi mungkar adalah salah satu syiar agung islam dan
salah satu penopang kuat masyarakat rabbani seperti yang ditunjukkan oleh
berbagai nash, disaksikan oleh sejarah, dan diungkapkan oleh realitas. Saat
ini, umat perlu menghidupkan kembali syiar ini dan memperkuat penopang tersebut
untuk menghilangkan debu-debu yang melekat yang ditimbulkan oleh tipu daya
internal dan eksternal yang bisa terlaksana andai saja bukan karena
keterbatasan pemahaman Islam dan jauhnya umat dari agamanya sendiri.
Urgensi amar makruf nahi mungkar
·
Amar
makruf nahi mungkar adalah faktor penyebab baiknya umat ini, dan salah satu
karakteristik dan kelebihan yang dikaruniakan Allah atas umat umat ini diantara
seluruh umat.
·
Amar
makruf nahi mungkar adalah bagian dari jaminan yang ditegakkan Allah diantara
kaum mukmin.
·
Amar
makruf nahi mungkar menjamin lingkungan terhindar dari polusi pikiran dan
etika.
·
Amar
makruf nahi mungkar adalah jaminan dari hukuman-hukuman ilahi yang akan menimpa
masyarakat saat kerusakan menyebar luas.
Halangan-halangan amar makruf nahi mungkar:
·
Malu
·
Merasa
belum pantas karena banyak dosa
·
Merasa
dekat dengan pendosa
·
Merasa
tidak memiliki massa
·
Takut
disiksa
·
Khawatir
terjadi fitnah
Wasiat
Kedelapan: Bersabarlah
Allah berfirman melalui lisan Luqman:
“… Dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17).
Karena Allah tahu bahwa orang yang memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran akan mendapatkan gangguan dan siksa, Allah
memerintahkannya untuk bersabar. Rasulullah bersabda:
المؤمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ
وَيَصبِرُ عَلَى أَذَاهُم أَفضَلُ مِن الَّذِي لَايُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا
يَصبِرُ عَلَى أَذَاهُم (رواه أحمد وإبن ماجه)
“Mukmin yang bergaul
dengan orang dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik dari yang tidak
bergaul dengan orang dan tidak sabar atas gangguan mereka.”
Dengan demikian, sabar adalah bekal utama seorang dai yang ingin
mendidik manusia diatas manhaj Al-Qur’an dan sunnah, mengingat jalan menyeru
manusia menuju Allah penuh dengan duri. Rasulullah sendiri pernah ditaburi
tanah, dilempari kotoran, dan dicerca dengan kata-kata yang paling buruk, tapi
beliau tetap bersabar hingga bisa menyampaikan wahyu yang diturunkan oleh Allah
dengan sebenarnya. Karena itu, seorang dai harus berhias diri dengan kesabaran
dan meneladani Rasulullah.
Wasiat
Kesembilan: Jangan Sombong
Allah berfirman melalui lisan Luqman:
“Dan janganlah kamu
memakingkan mukamu dari manusia (karena sombong)…..”(Luqman: 18).
Yaitu, janganlah kamu palingkan wajah dan bermuka masam terhadap
sesame karena sombong dan tinggi hati. Ini adalah sifat tercela yang harus
dihindari muslim. Tidak memalingkan wajah dari orang lain saat berbicara karena
merendahkannya, tapi sebaliknya bersikap remah dan menghadapkan wajah.
Sombong menjadi penghalang surga karena sombong menghalangi
seseorang dari akhlak orang-orang mukmin mengingat orang sombong tidak bisa
mencintai untuk orang-orang mukmin seperti yang ia cintai untuk diri sendiri.
Orang sombong tidak bersikap tawadhu’, tidak meninggalkan sikap dengki, hasud,
dan murka, tidak menahan amarah, tidak menerima nasihat, dan tidak terhindar
dari celaan orang. Tidak ada satu pun akhlak tercela melainkan pasti dilakukan.
Semoga Allah berkenan menghindarkan kita dari sikap tercela.
Wasiat
Kesepuluh: Janganlah Berjalan dimuka Bumi Dengan Angkuh
Allah berfirman: melalui lisan Luqman:
“… Dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman: 18).
Ini termasuk akhlak tercela yang dilarang Islam. Jangan berjalan
dengan angkuh, sombong, berlagak, dan membangkang agar Allah dan manusia tidak
murka pada kita. Allah melarang akhlak tercela ini dalam ayat lain sebagai
berikut, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37).
Dengan kekuatan dan kemuliaan, manusia tidak boleh lalai untuk
bersikap rendah hati yang diserukan Al-Qur’an dengan merendahkan kesombongan
dan keangkuhan, beretika terhadap Allah, beretika terhadap sesama layaknya
terhadap diri sendiri, dan beretika sosial. Tidak ada yang meninggalkan etika
ini kemudian beralih ke etika kesombongan dan ujub selain manusia berhati kecil
dan beridealisme kecil yang dibenci Allah karena kesombongannya, lupa akan
nikmat yang diberikan, dan dibenci sesama karena sikap congkak dan tinggi
hati.”
Wasiat
Kesebelas: Etika Berjalan
Allah berfirman melalui lisan Luqman:
“Dan sederhanakanlah kamu
dalam berjalan….” (Luqman:19).
Saat Allah melarang cara berjalan yang diharamkan, yaitu cara
berjalan dengan sombong, congkak, dan ujub, Allah menunjukkan cara berjalan
yang baik, yang tidak ada kesombongan dan ujub, “Dan sederhanakanlah kamu dalam
berjalan.” Yaitu, berjalanlah dengan tawadhu’ dan merendah hati, bukan dengan
kesombongan, kecongkakan, dan bukan pula berjalan layaknya orang mati.
Maksud sederhana disini adalah proporsional. Tidak berlebihan,
tidak membuang-buang tenaga untuk berlagak dan sombong huga termasuk sederhana,
sebab cara berjalan yang menjurus pada tujuan tidak melambat, berlagak, dan sombong,
tapi berlalu untuk mencapai tujuan dalam kesederhanaan.
Ibnu Katsir bertutur, “Berjalanlah secara sederhana, tidak terlalu
lamban dan tidak terlalu cepat, tapi pertengahan antara keduanya.”
Wasiat
Kedua Belas: Etika Bertutur Kata
Allah berfirman melalui lisan Luqman:
.
“…Dan lunakkanlah
suaramu….” (Luqman: 19).
Jangan berlebihan dalam bertutur kata, jangan berbicara dengan
keras untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya sebagai wujud etika kita terhadap
orang dan terhadap Allah. Bersuara lirih mencerminkan etika, kepercayaan diri,
ketenangan, dan kekuatan untuk jujur dalam bertutur kata dengan keras selain
orang yang tidak sopan, ragu akan bobot kata-katanya sendiri atau nilai
kepribadiannya yang berusaha menyembunyikan keraguan ini dengan
sungguh-sungguh, keras, dan berteriak.
Dengan wasiat ini, berakhirlah wasiat Luqman Al-Hakim,
wasiat-wasiat yang sangat berguna. Berkenaan dengan hal itu, Ibnu Katsir
berkata, “Ini adalah wasiat-wasiat yang sangat berguna, termasuk salah satu
kisah Al-Qur’an tentang Luqman Al-Hakim.”
*Sumber : andcisonline.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar