Hal yang
hendaknya disyukuri, banyak sekali ungkapan Islam yang sudah menjadi budaya
dalam ucapan dan perbuatan umat Islam Indonesia. Di antara ungkapan yang sudah
lumrah adalah kata “in sya’a Allah”.
Ungkapan
ini terdiri 3 kata: in, sya’a, dan Allah. In
artinya jika, dan sya’a artinya berkehendak.
Sehingga maksudnya
adalah untuk menggantungkan rencana, bahwa rencana melakukan sesuatu hanya akan
terlaksana jika sesuai dengan kehendak Allah swt.
Hal yang sama juga terkandung
dalam ungkapan bi idznillah yang artinya “jika Allah swt.
menghendakinya”, bukan “jika Allah swt. membolehkannya, mengijinkannya,”
karena boleh-tidaknya sesuatu sudah jelas dalam hukum Islam, bukan sesuatu yang
misterius.
Pengucapan
kata In sya’a Allah di masyarakat Indonesia tidaklah perlu
dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah cara menulisnya.
Yang sudah
lumrah, cara menulis kata ini adalah Insya Allah. Kata insya
berbeda maknanya dengan In sya’a. Kata Insya berasal dari kata ansya’a
– yunsyi’u – insya’an, yang artinya membuat, mendirikan, membangun, dan
sejenisnya. Makna-makna tersebut tidaklah layak jika Allah swt. menjadi
objeknya.
Beriman
dengan Takdir
Kalau
demikian, ungkapan in sya’a Allah mengandung nilai keimanan yang sangat
besar. Yaitu sebuah pengakuan bahwa pengetahuan dan kemampuan kita sangat
terbatas. Kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Tahun depan, bulan depan, pekan depan, besok, nanti sore, atau bahkan sedetik
setelah ini, adalah hal yang ghaib bagi kita.
Sedangkan pengetahuan Allah swt.
meliputi segala sesuatu; baik yang sudah, sedang, akan, bahkan yang tidak akan
pernah terjadi; kalau terjadi bagaimana kejadiannya.
Dalam
sebuah ayat, Allah swt. berfirman: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan
terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ tanpa
(dengan menyebut), ‘In sya-Allah.’” [Al-Kahfi: 23].
Segala
sesuatu dalam kehidupan terjadi karena Allah swt. menghendakinya, dan segala
yang Allah swt. kehendaki pasti akan terjadi. Demikianlah, kehendak Allah swt.
melingkupi segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun yang terlepas dari
kehendak-Nya.
Oleh
karena itu, Allah swt. murka kepada orang yang memastikan sesuatu tanpa
menggantungkan niatan itu kepada kehendak Allah swt.
“Sesungguhnya Kami
telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh
akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan: “Insyaa
Allah”, lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika
mereka sedang tidur.” [Al-Qalam: 17-19].
Walaupun
demikian, mengucapkan In sya’a Allah ketika berdoa tidak dianjurkan.
Yang dianjurkan dalam berdoa adalah kata Aamiin. Masing-masing sudah ada
ketentuannya. Dalam berdoa, hendaknya kita membulatkan harapan dan permohonan,
tidak menggantungkannya kepada kehendak Allah swt.
Berbohong
yang Islami?
Islam
selalu mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya. Namun tak jarang pemeluknya
sendiri yang membuat kebaikan-kebaikan itu terlihat buruk. Sebagian orang mempunyai
persepsi bahwa kalau dikatakan In sya’a Allah, berarti janji yang
diucapkan tidak akan dipenuhi; atau minimal terdapat keragu-raguan dalam
melaksanakannya. Tapi karena malu, atau tidak enak, maka keluarlah kata In
sya’a Allah. Sehingga tidaklah perlu berharap terwujudnya janji yang
diimbuhi dengan kata In sya’a Allah ini.
Seorang
muslim tidaklah layak melakukan hal seperti itu. Hendaknya kata In sya’a
Allah diucapkannya ketika sudah yakin akan melakukannya. Sudah tidak ada
keraguan atau bahkan ada niatan untuk tidak memenuhinya. Tapi karena beriman
kepada Allah swt., dia pun menggantungkan janjinya tersebut kepada kehendak
Allah swt. Bila tidak terpenuhi, bukan karena unsur kesengajaan darinya. Tapi
karena kehendak Allah swt. lah yang menghalanginya.
Seorang
muslim akan jujur menyampaikan alasan bila memang dari awal sudah ada
ketidak-siapan dalam melakukan sesuatu. Kejujuran ini, jika disampaikan dengan
baik, akan mudah diterima dan dimaklumi. Karena berbohong dan ingkar janji
adalah sifat orang munafik. Walaupun orang munafik berbuat yang lebih parah
lagi. Mereka tidak hanya mengucapkan In sya’a Allah, tapi juga bersumpah
untuk melakukannya. Banyaknya sumpah yang mereka ucapkan hanya memperjelas
kebohongan mereka. Tidak mustahil, seorang muslim akan terjerumus hal
sedemikian bila tetap nyaman dengan kesalahannya.
Setelah
yakin akan memenuhi janji, namun ternyata Allah swt. berkehendak lain, yang
terucap di lisan seorang pun hendaknya adalah “ALLAH SWT. MENGHENDAKI TIDAK
TERJADI,” dia tidak mengatakan “ALLAH SWT. TIDAK MENGHENDAKI TERJADI.” Memang
terlihat sederhana. Tapi kalau ditelusuri secara bahasa, hal itu mempunyai efek
akidah yang sangat besar.
Mengapa? Karena seorang muslim harus beriman bahwa
Allah swt. Maha Berkehendak. Keimanan tersebut meniscayakannya untuk selalu
mengatakan ALLAH SWT. MENGHENDAKI… bukan ALLAH SWT. TIDAK MENGHENDAKI…
*Sumber: dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar